Jumat, 03 Juli 2015

ANALISIS CERPEN HAKIM SARMIN KARYA AGUS NOOR



ANALISIS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM CERPEN “HAKIM SARMIN” KARYA AGUS NOOR DENGAN TEORI FEMINISME
Dosen Pengampu : Dr. Rina Ratih Sri Sudaryani, M. Hum.

Disusun :
Khalifatun Saudah
1400003148
C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2015



DAFTAR ISI



Halaman Sampul........................................................................................................ i
Daftar Isi .................................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2
B.     Teori Feminisme ........................................................................................... 3
C.     Pembahasan .................................................................................................. 7
1.      Cerpen Hakim Sarmin karya Agus Noor ............................................... 7
2.      Analisis Cerpen Hakim Sarmin karya Agus Noor .................................. 8
D.    Kesimpulan ................................................................................................. 12
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 13




A.      LATAR BELAKANG MASALAH
a.         Latar Belakang Masalah
      Karya sastra adalah ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud penulis untuk tujuan estetika. Karya sastra ini di dalamnya meliputi berbagai unsur, biasanya mengandung unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dalam karya sastra yang dihasilkan tersebut dapat juga dianalisis menggunakan teori feminisme. Feminisme yakni sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Berbagai kalangan ada yang mendukung dan ada yang menolak tentang adanya gerakan feminisme.
      Dalam penulisan kali ini, akan di analisis mengenai sifat tokoh dalam cerpen yang mempunyai peranan dalam memperjuangkan gerakan feminisme maupun yang mengabaikan. Keterkaitan isi cerpen juga dapat di analisis menggunakan teori feminisme ini. Tokoh utama tidak memperjuangkan hak perempuan, tetapi dialah yang menjadikannya sebagai bagian dari korban perbuatannya. Penulis menganalisis cerpen karya Agus Noor yang berjudul Hakim Sarmin yang termuat dalam koran Kompas edisi Minggu, 31 Mei 2015. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang adanya keterkaitan unsur feminisme dalam cerpen, maka akan di bahas dalam penulisan kali ini.

b.        Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keterkaitan isi cerpen “Hakim Sarmin” karya Agus Noor dalam analisis sastra feminisme?
2.      Bagaimana sikap tokoh utama dalam cerpen “Hakim Sarmin” dengan menggunakan unsur feminisme?

c.         Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui  keterkaitan isi cerpen “Hakim Sarmin” karya Agus Noor dalam analisis sastra feminisme
2.      Mengetahui sikap tokoh utama dalam cerpen “Hakim Sarmin” dengan menggunkan unsur feminisme.


B.       TEORI FEMINISME
     Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, Femia yang berarti perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Ada beberapa pendapat tentang asal mula munculnya feminisme di Amerika Serikat. Pendapat pertama berkaitan dengan aspek politis, yaitu saat rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1776, Deklarasi Kemerdekaan Amerika mencantumkan “all men are created equal” atau “semua laki-laki diciptakan sama”. Hal ini membuat para feminis merasa bahwa Pemerintah Amerika tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan perempuan. Maka dalam konvensi di Seneca Falls pada tahun 1848, para tokoh feminis memproklamasikan versi lain dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang berbunyi “all men and women are created equal” atau “semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama”.
Pendapat kedua berkaitan dengan aspek agama, yaitu kebiasaan kaum lelaki Yahudi kuno yang ketika bersembahyang selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena mereka tidak dilahirkan sebagai perempuan.
Pendapat ketiga berkaitan dengan aspek sosialisme. Menurut kaum feminis Amerika, kaum wanita merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kelas laki-laki.
Ketiga aspek ini senantiasa menjadi landasan gerakan feminisme di Amerika dalam melancarkan kegiatan-kegiatannya. Dapat disimpulkan bahwa perjuangan para feminis Amerika pada umumnya tidak bertujuan untuk mengungguli atau mendominasi kaum laki-laki. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.




Sejarah

Pada awalnya tuntutan kaum feminis hanya mencakup bidang hukum, ekonomi dan sosial. Mereka menganggap hal politik tidak begitu mendesak. Tuntutan di bidang hukum meliputi hak-hak dalam perkawinan, di bidang ekonomi meliputi tuntutan hak atas harta, di bidang sosial meliputi kebebasan dalam memperoleh pendidikan dan bersosialisasi. Namun semua tuntutan mereka tidak juga dipenuhi oleh pemerintah. Para feminis berpendapat bahwa mereka tidak akan mengalami kemajuan jika pemerintahan tetap dikuasai dan didominasi kaum laki-laki.
Pada tahun 1920 kaum wanita Amerika berhasil memperoleh hak memilih dan dipilih setelah mengembangkan pendidikan mereka. Di samping itu, selama Perang Dunia I mereka menunjukkan kemampuan dalam mengambil alih dan menangani berbagai pekerjaan yang ditinggalkan banyak laki-laki yang pergi berperang dan hal ini membuat pemerintah akhirnya memberikan hak politik kepada mereka. Namun, seakan terlena dalam kemenangan, dalam dasawarsa 1920-1930, wanita Amerika cenderung kembali ke lingkungan domestik mereka, yaitu kembali mengurusi rumah tangga dan anak-anak. Hal ini membuat mengendurnya gerakan feminisme yang bertahan sampai tahun 1960-an.
Pada tahun 1963 muncul buku berjudul “The Feminine Mystique” yang ditulis oleh Betty Friedan dan menjadi tanda dimulainya gerakan feminisme gelombang kedua. Berbeda dengan feminisme gelombang pertama, gelombang kedua berdampak luas di hampir bidang kehidupan. Misalnya, seorang suami yang pandai memasak kemudian menjadi kenyataan yang sangat lazim. Wanita-wanita muda bisa menjadi prajurit. Di samping dampak positifnya, tentu ada juga dampak negatif dari keberhasilan perjuangan ini, misalnya meningkatnya angka perceraian, semakin banyaknya wanita yang memilih hidup sebagai single parent atau orang tua tunggal bahkan menjamurnya lesbianisme.
Memasuki tahun 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Kritik feminisme ini dapat berupa kritik sastra feminisme yang berawal dari kenyataan bahwa konon sastra di Amerika merupakan tulisan kaum laki-laki. Elaine Showalter mengatakan bahwa sejumlah besar bentuk sastra tidak menyinggung satu orang pun penulis perempuan. Oleh karena itu, salah satu kegiatan awal para pengkritik sastra  feminis adalah menggali, mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa-masa silam.



Ragam Kritik Sastra Feminis
Kritik Sastra Feminis memiliki beberapa ragam, yakni :
a.         Kritik Sastra Feminis-Ideologis
     Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra.
b.        Ginokritik
     Kritik sastra yang mengkaji penulis-penulis wanita. Dalam ragam ini termasuk meneliti tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita.
c.         Kritik Sastra Feminis-Sosialis
     Kritik sastra ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat.
d.        Kritik Sastra Feminis-Psikoanalitik
     Kritik sastra ini lebih menerapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena pada feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan menempatkan dirinya pada si tokohwanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.

Aliran-Aliran
Feminisme memiliki beberapa aliran, yaitu :
a.         Feminisme Liberal
Feminisme Liberal melihat perbedaan laki-laki dengan perempuan sebagai konstruksosio-ekonomis dan budaya daripada sebagai hasil dari suatu biologis abadi. Mereka menekankan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan di semua bidang.
b.        Feminisme Radikal
Feminisme Radikal dasarnya ketidakadilan terhadap perempuan yaitu patriarkat yang dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan.
c.         Feminisme Marxis
Feminisme Marxis menolak keyakinan feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar perbedaan gender. Bagi penganut aliran ini, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
d.        Feminis Sosialis
Feminis sosial adalah gerakan untuk membebaskan perempuan melalui perubahan struktur patriarkat.




C.      PEMBAHASAN
1.     Kutipan cerpen Hakim Sarmin karya Agus Noor dalam Kompas edisi 31 Mei 2015
HAKIM SARMIN
Oleh : AGUS NOOR

Karya Polenk Rediasa


Keadilan memang lebih mudah didapatkan di luar pengadilan, batin Hakim Sarmin saat memandang perempuan yang duduk di kursi terdakwa itu. Selama persidangan perempuan itu hanya membisu, seolah yakin bahwa apa pun yang dikatakan tak akan membuatnya mendapatkan keadilan.
Umurnya 36 tahun, berkulit langsat dan terlihat menjadi semakin bersih dengan kemeja warna lembut yang dikenakan. Rambutnya agak ikal panjang sebahu. Bibir, pipi dan alisnya yang tanpa riasan seolah tak tersentuh dosa. Hanya matanya yang gelap keruh, seperti biji salak lisut, tapi dengan sorot tajam, membuat siapa pun yang menatapnya akan cepat-cepat mencari cara untuk menghindar. Mata seperti itu tak hanya misterius, tapi juga pintar menyimpan rahasia. Siapa pun tak akan menyangka ia membunuh lima lelaki, setelah menyimpan dendamnya begitu lama. Pembunuhan itu begitu rapi, dengan detail rencana yang nyaris sempurna, berlangsung selama dua tahun, dari pembunuhan lelaki pertama sampai lelaki kelima.
Lelaki pertama mati dengan leher terjerat kawat. Lelaki kedua mati disiram bensin dan dibakar. Lelaki ketiga mati dengan wajah pucat ketakutan: lidah dan kedua telinganya dipotong, sementara kemaluannya hancur dihantam lonjoran besi. Lelaki keempat mati dengan kepala remuk. Dan mayat lelaki kelima ditemukan terpotong-potong dalam kantong plastik hitam yang dibuang ke selokan.
Serangkaian pembunuhan itu mungkin akan selamanya tak terungkap, bila bukan karena sesuatu yang tak diduga-duga. Seseorang menemukan dompet yang terjatuh di jalan, dan menyerahkannya ke kantor polisi. Di dompet itu ada KTP dan satu foto lelaki yang kemudian dikenali polisi sebagai orang yang oleh keluarganya dilaporkan telah hilang sejak setahun lewat. KTP itu membawa polisi ke alamat perempuan itu, dan ketika menelisik lebih jauh, ditemukan lima potret lelaki di album foto yang disimpan perempuan itu di laci lemari kamarnya. Lalu polisi tahu, kelima lelaki tersebut sudah tewas. Banyak memang kasus-kasus pembunuhan akhirnya terbongkar karena hal-hal yang sepele. Dari foto-foto itulah kemudian polisi bisa membuktikan kalau perempuan itu memang sudah lama merencanakan membunuh lima lelaki itu. Lima lelaki yang telah memperkosanya.
Perempuan itu tak banyak bicara, sejak polisi menangkap dan menginterogasi. Dan hanya diam membisu selama persidangan, membuat senewen jaksa yang terus mencecarnya. Dalam kebisuannya ia seakan ingin menegaskan: dendam adalah jalan terbaik untuk mendapatkan keadilan. Dan hukum yang buruk membuat orang lebih percaya pada dendam. Bertahun-tahun menjadi hakim, Hakim Sarmin bisa mengenali keteguhan seorang terdakwa dari sorot matanya. Mata perempuan itu mata yang tak lagi takut pada apa pun, bahkan pada kematian. Kematian memang tak lagi menakutkan bagi mereka yang menuntut keadilan.
Hakim Sarmin telah menangani bermacam perkara berat, tapi ini akan menjadi yang terberat dalam karirnya. Ia pernah mengalami tekanan ketika menangani kasus korupsi seorang Jenderal polisi bintang tiga. Pada mulanya, ia merasa bangga karena dipercaya menjadi hakim yang menyidangkan Jenderal polisi. Ia merasa, itu adalah lompatan terbesar dalam karirnya. Sampai kemudian ia menyadari, ia ternyata hanya dikorbankan; karena seperti Tuhan yang bekerja dengan cara rahasia, dalam hukum ada tangan-tangan tak terlihat yang bisa mengatur hasil akhir perkara. Nyaris setiap hari ia menjadi bahan ledekan dan lelucon di koran dan televisi ketika ia membebaskan Jenderal itu dari semua tuntutan. Lelucon terbesar dalam penegakan hukum, begitu koran dan televisi menyebut keputusannya. Hakim kini lebih lucu dari pelawak, komentar lainnya.
Itu pelajaran terpenting baginya selama 22 tahun menjadi hakim.
Kini Hakim Sarmin mesti memutuskan hukuman perempuan itu. Sidang berlangsung tertutup, tapi Hakim Sarmin tahu, di luar sana puluhan wartawan menunggu dan siap menyambar apa yang diputuskannya. Pemberitaan media seringkali lebih kejam dari hasil akhir persidangan.
”Saudari terdakwa, apakah Saudari dalam keadaan sehat?”
Perempuan itu tetap diam.
”Apakah Saudari ingin menjawab apa yang dikatakan jaksa?” Hakim Sarmin bertanya dengan suara pelan, tapi menekan. Seringkali ia menikmati saat-saat seperti ini, ketika para terdakwa dengan tatapan pasrah menyerahkan nasib kepadanya. Tapi perempuan itu tetap bergeming.
”Apakah Saudari akan membantah, bahwa Saudari melakukan semua pembunuhan itu?” Mata perempuan itu makin menatap tajam.
Dalam persidangan pembela telah menjelaskan semuanya. Peristiwa pemerkosaan itu terjadi enam belas tahun lalu, saat perempuan itu berumur dua puluh tahunan. Malam itu ia pulang kerja naik angkot. Ada dua lelaki di angkot itu yang membuatnya gelisah. Ia ingin turun segera, tetapi angkot malah melaju makin cepat dan tiba-tiba berbelok keluar jalan yang seharusnya dilewati. Ia melawan sekuat tenaga ketika dua lelaki itu menyekapnya. Angkot berhenti di pinggiran sawah, dan ia diseret ke sebuah rumah. Telah menunggu beberapa lelaki di rumah itu. Malam itu menjadi malam paling celaka yang tak pernah ingin diingatnya, tetapi terus menghantui sepanjang hidupnya. Ia memendamnya. Apalagi ketika ia tahu, salah seorang pemerkosanya anak seorang politisi. Ia mengenali wajahnya dari poster-poster yang banyak terpasang di jalanan saat kampanye pemilu.
Ia tahu, ketakutan hanya akan membuat hidupnya makin tak berdaya. Dendam yang tak diselesaikan adalah dendam yang menyedihkan. Seperti kesabaran, dendam juga punya batas. Lalu mulailah ia merencanakan semua pembunuhan itu. Bertahun-tahun ia merencanakannya dengan sabar, menunggu saat terbaik. Pembunuhan pertama selalu menjadi pembunuhan yang tersulit. Ia mesti berjuang keras mengatasi ketakutannya. Dendam memang selalu membutuhkan keberanian. Tapi kemudian ia berhasil melewati ketakutan itu. Baginya rasa takut tak lebih mengerikan dari maut. Dari lelaki pertama yang dibunuhnya itulah ia bisa tahu nama-nama pemerkosa lainnya. Pembela berkali-kali menegaskan bahwa apa yang dialami perempuan itu mesti menjadi pertimbangan. Dalam kasus pemerkosaan, tegas pembela, para pelaku akan melupakan, sementara korban menanggung penderitaannya seumur hidup.
Hakim Sarmin menarik napas dalam-dalam ketika perempuan itu terus menatapnya. Mata yang menuntut keadilan memang selalu menggelisahkan. Pernah Hakim Sarmin mengadili seorang nenek berumur 70 tahun yang mencuri sebungkus biskuit di minimarket. Selama persidangan nenek itu terus menangis dan mengiba, meratap dan bahkan bersujud minta ampun. Ia terpaksa mencuri biskuit itu untuk cucunya yang masih bayi dan sudah dua hari tak makan. Hakim Sarmin selalu teringat pada mata tak berdaya nenek tua itu ketika akhirnya ia menvonis dua tahun penjara.
Beberapa bulan kemudian Hakim Sarmin mendengar nenek tua itu mati karena sakit di penjara. Lalu pada suatu malam almarhum ibunya muncul dalam mimpinya. Hakim Sarmin melihat bayangan ibunya berdiri di bawah pohon besar hitam penuh ular melilit cabang-cabang yang bagai tangan terulur menjulur hendak mencekik. Makin lama pohon itu makin membesar, dan ibunya menjelma bidadari bersayap cahaya yang gemerlapan. Ibunya terlihat menggandeng nenek tua itu. ”Lihatlah, anakku,” kata ibunya. Hakim Sarmin menyaksikan pohon besar penuh ular itu bergemuruh seolah dihantam angin puyuh. Sementara nenek tua yang digandeng ibunya memandangi Hakim Sarmin, sampai Hakim Sarmin menyadari bila mata nenek itu hanya hitam serupa kepompong. ”Jika kau tak bisa melihat kebenaran, suatu hari kebenaran akan mengambil matamu.”
Ibu Hakim Sarmin meninggal dunia ketika Hakim Sarmin masih kanak-kanak. Sebelum meninggal ibunya pernah bercerita sembari dengan lembut mengusap kepala Sarmin yang berbaring di pangkuan. ”Tahukah kau, Sarmin anakku, ketika seseorang mendekati ajalnya, akan muncul bidadari. Bila semasa hidupnya orang itu penuh kebaikan, bidadari itu akan tersenyum dan membawanya ke surga. Tapi bila orang itu jahat, maka bidadari akan mengambil matanya hingga dalam kematian orang itu hanya merasakan kegelapan.” Dalam mimpinya itu, Hakim Sarmin hanya bisa terpana ketika ibunya mencabut kedua matanya dan memberikan kepada nenek tua itu. Seketika Hakim Sarmin disergap kegelapan, dan ia mendengar ibunya berkata, ”Yang membahagiakan seorang ibu hanyalah perbuatan baik anak-anaknya…” Hakim Sarmin melihat nenek tua yang mengenakan matanya. Tapi ia tak lagi mengenali matanya sendiri itu.
Kini dalam pandangan Hakim Sarmin, perempuan yang duduk di kursi terdakwa seperti mengenakan mata nenek tua itu. Mata yang menuntut keadilan!
Ruangan terasa gerah padahal berpenyejuk udara. Hakim Sarmin mengusap ujung lengan toga pelan-pelan, sekadar mengalihkan kegelisahannya. Hakim Sarmin tak bisa menyembunyikan gemetar di rahangnya yang kekar. Bila kulitnya tak hitam kusam, pasti kini ia akan terlihat pucat ketika ia melihat bayangan hitam bersayap yang berdiri di pojok belakang ruang sidang. Kedua alis Hakim Sarmin yang lebat tampak melorot ketika ia menyipitkan matanya. Hakim Sarmin gemetar.
Keadilan tak akan pernah terpuaskan oleh dendam, karena itulah hukum diperlukan. Hakim Sarmin tahu apa yang harus ia putuskan. Jaksa menuntut penjara seumur hidup. Tapi ia akan menvonis mati perempuan itu. Tuhan mengetahui semua kebenaran, tapi di pengadilan, hakimlah yang menentukan. Hakim Sarmin tahu, ia pasti akan kembali diolok-olok karena keputusannya ini. Tapi hukuman mati untuk perempuan itu ia anggap yang terbaik.
Hakim Sarmin bisa memahami dan menerima semua argumen hukum dalam tuntutan jaksa. Tapi Hakim Sarmin tahu persis, ada yang salah dan tak pernah terungkap dalam persidangan. Jaksa dan pembela mengatakan bahwa perempuan itu diperkosa lima lelaki. Itu keliru. Bukan lima. Tapi enam. Hakim Sarmin tahu persis, karena ia ada di sana ketika peristiwa itu terjadi…
(Cerita buat Budi Darma)


2.      Analisis Cerpen Hakim Sarmin karya Agus Noor
a)      Keterkaitan isi cerpen “Hakim Sarmin” karya Agus Noor dalam analisis sastra feminisme
     Dalam cerpen Agus Noor yang berjudul“Hakim Sarmin” akan dianalisis sastra feminisme yang menyangkut tentang perempuan. Pada cerpen ini tokoh utamanya bukan perempuan, melainkan seorang hakim yang bernama Sarmin. Di dalam cerpen ini, tokoh utama memperlihatkan adanya unsur feminisme yakni yang menganggap perempuan itu lemah yang hanya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan seksual.
     Tokoh perempuan yang tidak disebutkan namanya di dalam cerpen ini memperlihatkan adanya pemberontakan atas ketidakadilan gender bahwa perempuan itu bukanlah makhluk lemah yang seakan-akan tertindas selamanya. Tokoh perempuan di sini memberontak sampai-sampai membunuh lima orang lelaki yang membuatnya mempunyai dendam selama bertahun-tahun. Terlihat pada kutipan berikut:
     “Umurnya 36 tahun, berkulit langsat dan terlihat menjadi semakin bersih dengan kemeja warna lembut yang dikenakan. Rambut agak ikal panjang sebahu. Bibir, pipi dan alisnya yang tanpa riasan seolah tak tersentuh dosa. Hanya matanya yang gelap keruh, seperti biji salak lisut, tapi dengan sorot tajam, membuat siapapun yang menatapnya akan cepat-cepat mencari cara menghindar. Mata seperti itu itu tak hanya misterius, tapi juga pintar menyimpan rahasia. Siapapun tak akan menyangka ia membunuh lima lelaki, setelah menyimpan dendam begitu lama. Pembunuhan itu begitu rapi, dengan detail rencana yang nyaris sempurna, berlangsung selama dua tahun, dari pembunuhan lelaki pertama sampai lelaki kelima.”(paragarf 1)
     Tokoh perempuan inimemperlihatkan tentang siapa dirinya yang terlihat pendiam, tetapi dibalik itu semua ada sesuatu hal membebani pikirannya tentang sebuah dendam. Dalam pandangannya dendam adalah jalan terbaik untuk mendapatkan keadilan. Terdapat pada kutipan:
     “Perempuan itu tak banyak bicara, sejak polisi menangkap dan mengintrogasi. Dan hanya diam membisu selama persidangan, membuat senewen jaksa yang terus mencecarnya. Dalam kebisuannya ia seakan ingin menegaskan: dendam adalah jalan terbaik untuk mendapatkan keadilan. Dan hukum yang buruk membuat orang lebih percaya pada dendam.” (paragraf 4)
     Di sini juga terlihat tokoh perempuan memiliki sifat pemberani dalam menjalankan aksinya merencanakan pembunuhan berencana. Perempuan ini mewakili dari sekian banyak wanita yang pernah merasakan tubuhnya diperkosa oleh beberapa orang dengan paksaan. Terbukti pada kutipan:
     “Ia tahu, ketakutan hanya akan membuat hidupnya makin tak berdaya. Dendam yang tak terselesaikan adalah dendam yang menyedihkan. Seperti kesabaran, dendam juga punya batas. Lalu mulailah ia merencanakan semua pembunuhan itu. Bertahun-tahun ia merencanakannya dengan sabar, menunggu saat terbaik. Pembunuhan pertama selalu menjadi pembunuhan yang tersulit. Ia mesti berjuang keras mengatasi ketakutannya. Dendam memang selalu membutuhkan keberanian. Tapi kemudian ia berhasil melewati ketakutan itu. Baginya rasa takut tak lebih mengerikan dari maut. Dari lelaki pertama yang dibunuhnya itulah ia bisa tahu nama-nama pemerkosa lainnya. Pembela berkali-kali menegaskan bahwa apa yang dialamir perempuan itu mesti menjadi pertimbangan. Dalam kasus pemerkosaan, tegas pembela, para pelaku akan melupakan, sementara korban menanggung penderitaannya seumur hidup.” (paragraf 13)

b)      Sikap tokoh utama dalam cerpen “Hakim Sarmin” dengan menggunakan unsur feminisme
Dalam cerpen ini selain menceritakan tentang pemberontakan yang dilakukan tokoh perempuan dengan cara membunuh lima orang lelaki, juga menceritakan tentang Hakim Sarmin. Watak tokoh Hakim Sarmin akan diketahui ketika telah membaca keseluruhan isi dari cerita. Ketika Hakim Sarmin dihadapkan pada persoalan pemerkosaan yang tejadi pada tokoh perempuan di atas, ia telah mengetahui kalau perempuan yang akan ditanganinya ini pemberani. Terdapat pada :
“Bertahun-tahun menjadi hakim, Hakim Sarmin bisa mengenali keteguhan seorang terdakwa dari sorot matanya. Mata perempuan itu mata yang tak lagi takut pada apa pun, bahkan pada kematian. Kematian memang tak lagi menakutkan bagi mereka yang menuntut keadilan.” (paragraf 4)
Hakim Sarmin telah mengetahui sosok perempuan itu, maka ia pun harus mengambil keputusan sesuai dengan keadaannya. Ia tidak akan mengulang kembali ketika ia harus mengadili seorang nenek 70 tahun yang mencuri biskuit di minimarket dengan menvonis hukuman dua tahun penjara. Beberapa bulan selanjutnya Hakim Sarmin mendengar bahwa nenek itu meninggal karena sakit di penjara. Ini membuktikan kalau Hakim Sarmin tidak adil dalam memberikan keputusan terhadap kasus yang ditanganinya, termasuk kasus yang berhubungan dengan perempuan. Terdapat pada:
“Pernah Hakim Sarmin mengadili sorang nenek berumur 70 tahun yang mencuri sebungkus biskuit di mini market. Selama persidangan nenek itu terus menangis dan mengiba, meratap, dan bahkan bersujud minta ampun. Ia terpaksa mencuri biskuit itu untuk cucunya yang masih bayi dan sudah dua hari tak makan. Hakim Sarmin selalu teringat pada mata tak berdaya nenek tua itu ketika akhirnya ia menvonis dua tahun penjara.” (paragraf 14)
“Beberapa bulan kemudian Hakim Sarmin mendengar nenek tua itu mati karena sakit di penjara. Lalu pada suatu malam almarhum ibunya muncul dalam mimpinya.”(paragraf 15)
Dalam mimpinya diceritakan kalau Hakim Sarmin melihat bayangan ibunya berdiri di bawah pohon besar hitam penuh ular melilit cabang-cabang yang bagai tangan terulur menjulur hendak mencekik. Makin lama pohon itu makin membesar dan ibu Hakim Sarmin menjelma bidadari bersayap cahaya gemerlapan yang menggandeng nenek tua. Hakim Sarmin baru menyadari kalau mata nenek itu hanya hitam serupa kepompong. Hal itu dikarenakan tidak adanya keadilan sewaktu hidupnya dan hanya kejahatan yang ia lakukan.
Ibu Hakim Sarmin meninggal dunia sewaktu dirinya masih kanak-kanak. Sebelum meninggal ibunya pernah bercerita kalau kita atau seseorang mendekati ajal, maka akan muncul bidadari. Bila semasa hidupnya orang itu penuh kebaikan, bidadari akan tersenyum dan membawanya ke surga. Tetapi, bila orang itu jahat, maka bidadari akan mengambil matanya hingga dalam kematian orang itu akan kegelapan. Dan seketika itu, dalam mimpinya Hakim Sarmin melihat ibunya mencabut kedua matanya dan memberikan kepada nenek tua itu. Hakim Sarmin juga mendengar ibunya berkata, “Yang membahagiakan seorang ibu hanyalah perbuatan anak-anaknya...”
Kembali pada kasus pemerkosaan yang dialami tokoh perempuan, Hakim Sarmin ketika menatap pandangan perempuan yang duduk di kursi terdakwa itu seperti melihat mata nenek tua yang tak lagi mengenali matanya sendiri. Mata yang menuntut keadilan. Hakim Sarmin harus bertindak adil pada hukum, meskipun jaksa menuntut penjara seumur hidup tapi yang akan menvonis adaah dirinya.
Hakim Sarmin menvonis perempuan korban pemerkosaan oleh lima orang dan yang membunuh lima orang lelaki itu dengan hukuman mati, karena menurutnya hukuman mati yang terbaik. Hakim Sarmin mengetahui apa yang salah dan yang tidak terungkap dalam persidangan, yakni tentang perempuan itu tidak diperkosa lima orang melainkan enam orang. Hakim Sarmin tahu persis karena ia ada di sana ketika peristiwa itu terjadi. Ini terlihat pada paragraf terakhir dalam cerpen.
“Hakim Sarmin bisa memahami dan menerima semua argumen hukum dalam tuntutan jaksa. Tapi Hakim Sarmin tahu persis, ada yang salah dan tak pernah terungkap dalam persidangan. Jaksa dan pembela mengatakan bahwa perempuan itu diperkosa lima lelaki. Itu keliru. Bukan liam. Tapi enam. Hakim Sarmin tahu persis, karena ia ada di sana ketika peristiwa itu terjadi...” (paragraf 20)




E.       KESIMPULAN
Persoalan feminisme akan terus berlanjut dan tidak akan ada henti-hentinya. Perjuangan feminisme juga tidak akan pernah berhenti, termasuk melalui karya sastra. Banyak pesan yang disampaikan terkait persoalan feminisme dalam karya sastra. Di dalam cerpen “Hakim Sarmin” ini terlihat bahwa seorang politis, yakni Hakim Sarmin tidak dapat memberikan contoh tentang bagaimana menghargai seorang perempuan. Dirinya hanya bisa memanfaatkan permpuan untuk kebutuhan seksualnya saja.
Pemberontakan untuk tetap memperjuangkan haknya sebagai perempuan dalam cerpen ini juga terlihat. Perempuan yang diperkosa oleh enam orang lelaki (satu lelaki sebagai politis) ini selama bertahun-tahun menyimpan dendam untuk membunuhnya satu per satu. Akan tetapi baru lima orang yang terbunuh polisi sudah lebih dulu mengetahui masalah ini. Jadi, masih ada satu lelaki yang belum dibunuhnya secara berencana, dikarenakan dia seorang politisi yang sekarang akan menvonis dirinya hukuman mati. Dendam yang selama ini dipendam belum berakhir. Dari isi cerpen di atas kita mengetahui sosok Hakim Sarmin yang hanya bisa mengeksploitasi tubuh perempuan dengan memperkosanya secara paksa.
  




DAFTAR PUSTAKA

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Noor, Agus. 2015. Hakim Sarmin. Cerpen Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar